Pada serial sebelumnya, dakwah.id telah mengupas Tumbuh Bulu Ketiak Termasuk Tanda Balig? Kali ini, pembahasan serial Ngaji Fikih selanjutnya adalah Tanda Baligh Terlihat, Apa yang Harus Dilakukan?
Untuk membaca serial Ngaji Fikih secara lengkap, silakan klik tautan berikut:
Orangtua tidak perlu khawatir saat anak telah mendapati tanda balighnya. Tidak perlu gugup. Apalagi panik. Begitu pula dengan anak.
Lantas, apa yang harus dilakukan ketika anak mendapati tanda balighnya? Simak langkah-langkahnya berikut ini.
Kewajiban Anak Ketika Mendapati Tanda Baligh
Pertama: membersihkan najis dan menyucikan diri dari hadas
Bagi anak gadis yang tanda balighnya berupa keluar darah haid, dia harus menunggu masa haidnya berhenti. Setelah berhenti, dia harus mandi besar agar suci darinya.
Bagi anak laki-laki maupun gadis yang tanda balighnya adalah keluar air mani, dia harus segera menyucikan diri dari hadas besar tersebut. Yaitu dengan cara mandi besar.
Dua tanda baligh di atas termasuk yang dianggap sebagai hadas besar. Sebab itulah, anak yang mendapati dua tanda baligh di atas harus menyucikan diri dengan mandi besar.
Artikel Fikih: Wudhu Anda Sudah Benar? Mari Cek di Sini
Adapun anak yang mendapati tanda baligh dengan memasuki umur 15 tahun, dianjurkan pula baginya untuk mandi besar. Selain menjadi bentuk pembelajaran, juga agar mendapatkan keutamaan serta pahala mandi besar tersebut.
Kedua: segera menunaikan kewajiban
Kewajiban paling dekat yang dibebankan kepada hamba mukalaf adalah shalat. Karena shalat harus ditunaikan sebanyak lima waktu dalam sehari semalam.
Seseorang yang mendapati penghalang-penghalang shalat pada dirinya, kemudian suatu ketika penghalang itu hilang maka dia wajib mendirikan shalat saat penghalang itu tidak ada.
Penghalang-penghalang shalat jumlahnya ada tujuh, yaitu
- kafir ataupun murtad,
- belum baligh,
- gila,
- pingsan,
- mabuk,
- haid, dan
- nifas.
Sekiranya penghalang ini hilang dari seseorang sesaat sebelum habis waktu shalat, kurang lebih seseorang cukup melakukan takbiratulihram, maka dia berkewajiban untuk mengqadha shalat tersebut.
Contohnya:
Sorang anak memasuki masa baligh tepat di penghujung waktu shalat Zuhur, dan satu menit lagi akan masuk waktu shalat Asar. Anak tersebut memiliki kewajiban untuk mengqadha shalat Zuhur karena dia baligh di satu menit terakhir shalat Zuhur, dan satu menit itu cukup baginya untuk melakukan takbiratulihram.
Langkah-langkah yang harus dia lakukan, jika dia baligh karena keluar mani maka hendaknya dia menyucikan diri dari hadas dengan mandi dan berwudu, kemudian mempersiapkan diri untuk shalat, mendirikan shalat Zuhur dalam rangka qadha, dan setelah itu mendirikan shalat Asar.
Adapun tiga penghalang shalat berupa gila, pingsan, dan mabuk, maka ada tambahan syarat khusus. Yaitu kesadaran dan kewarasannya harus berlangsung kurang lebih seseorang cukup melakukan taharah dan mendirikan shalat.
Contohnya:
Seseorang siuman dari pingsannya di penghujung shalat Zuhur. Satu menit lagi tiba waktu shalat Asar. Satu menit adalah waktu yang cukup untuk melakukan takbiratulihram sehingga dia berkewajiban mengqadha shalat Zuhur yang tidak mungkin sempat dia lakukan.
Artikel Akidah: Hukum Memasang Susuk dan Cara Ampuh Menghilangkannya
Dengan syarat, lama waktu siumannya adalah sekiranya seseorang cukup melakukan taharah dan shalat. Misalnya, taharah dan shalat cukup dilakukan dalam waktu 20 menit. Jika lama siumannya adalah 20 menit dan kemudian dia pingsan kembali, dia tetap berkewajiban untuk mengqadha shalat Zuhur tersebut. Kalau siumannya kurang dari 20 menit maka dia tidak berkewajiban mengqadhanya.
Kaidah ini juga bisa diterapkan saat datang penghalang-penghalang shalat.
Misalnya wanita yang datang haid setelah 15 menit masuk waktu Zuhur. Padahal dia belum mendirikan shalat Zuhur. Oleh sebab 15 menit itu cukup untuk mendirikan shalat maka nanti ketika dia suci dari haid, dia memiliki kewajiban untuk mengqadha shalat Zuhur yang dahulu tidak sempat dia lakukan. Wallahu a’lam. (Arif Hidayat/dakwah.id)
Disarikan dari kitab: Al-Bayan wa at-Ta’arif bi Ma’ani wa Masaili al-Ahkam al-Mukhtashar al-Lathif, Ahmad Yusuf an-Nishf, hal. 184—185, Dar adh-Dhiya’, cet. 2/2014.
Baca juga artikel Serial Ngaji Fikih atau artikel menarik lainnya karya Arif Hidayat.
Penulis: Arif Hidayat
Editor: Ahmad Robith
Artikel Ngaji Fikih Terbaru: