Daftar Isi
Seorang khatib wajib menunaikan rukun khutbah Jumat dan syaratnya dengan sempurna. Karena fakta menunjukkan masih dijumpai khatib yang kurang memperhatikan syarat atau rukun khutbah Jumat ini.
Padahal, syarat dan rukun khutbah Jumat merupakan dua hal yang menjadi dasar keabsahan ibadah yang dilakukan. Syarat dan rukun tidak terpenuhi, khutbah Jumat batal.
Apa perbedaan antara rukun dan syarat?
Mudahnya begini, syarat itu sesuatu yang harus terpenuhi di luar rangkaian pelaksanaan ibadah yang dimaksud, sedangkan rukun itu sesuatu yang harus dipenuhi yang berada di dalam rangkaian ibadah.
Imam As-Syirbini mengatakan:
وَالرُّكْنُ كَالشَّرْطِ فِي أَنَّهُ لَا بُدَّ مِنْهُ، وَيُفَارِقُهُ بِأَنَّ الشَّرْطَ هُوَ الَّذِي يَتَقَدَّمُ عَلَى الصَّلَاةِ، وَيَجِبُ اسْتِمْرَارُهُ فِيهَا كَالطُّهْرِ وَالسَّتْرِ، وَالرُّكْنُ: مَا تَشْتَمِلُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ، كَالرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ،
“(Dalam shalat) Rukun itu seperti syarat dalam hal kewajiban menunaikannya. Perbedaannya, syarat adalah hal-hal yang mendahului shalat dan keberadaannya wajib berlangsung hingga masuk ke dalamnya, seperti bersuci dan menutup aurat, sedangkan rukun ialah hal-hal yang berada di dalam shalat, seperti ruku’ dan sujud.” (Mughni al-Muhtaj, Al-Khathib as-Syirbini, 1/340; Al-Iqna’ fi Hilli Alfaz Abi Syuja’, 1/120)
Oleh sebab itu, apabila seseorang berkhutbah dan tidak melaksanakan salah satu syarat atau rukun khutbah, lupa atau tertinggal membaca salah satu rukun khutbah, maka khutbahnya tidak sah dan wajib diulangi.
Mayoritas ulama berpendapat terpenuhinya rukun khutbah menjadi sebab sahnya shalat Jumat (Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiah, 19/177).
Allah berfirman,
فَاسْعَوْا إلَى ذِكْرِ اللَّهِ
“Bersegeralah mengingat Allah.” (QS. Al-Jumu’ah: 9)
Dalam ayat ini As-Sarkhasi secara zhahir menjelaskan bahwa yang dimaksud mengingat Allah ‘azza wajalla adalah Khutbah, dan karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah sekalipun shalat Jumat tanpa khutbah. (Al-Mabsuth, As-Sarkhasi, 2/24)
Mayoritas ulama dari kalangan mazhab Hanafi berpendapat bahwa khutbah menjadi syarat sah shalat Jumat. Khutbah pertama sebagai syarat sah dan khutbah kedua dihukumi sunnah. (Hasyiyatu as-Shawi ‘ala Syarh as-Shaghir, As-Shawi, 1/499; Al-Qawanin al-Fiqhiyyah, Ibnu Jazi, 80; Mukhtashar al-Qaduri fi al-Fiqhi al-Hanafi, Al-Qaduri, 39; Bada’iu as-Shanai’ fi Tartib as-Syarai’, Al-Kasani, 1/262; An-Nasafi, Kanzu ad-Daqa’iq, 189)
Materi Khutbah Idul Fitri: Kaderisasi Ulama Tanggung Jawab Kita
Umar bin Khathab dan Ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anhuma pernah menyampaikan, “Bahwa dipendekkannya shalat (menjadi dua rakaat Jumat) disebabkan adanya khutbah.”
Perkataan ini dinukil oleh imam al-Kasani dalam kitab beliau, Bada’iu as-Shanai’ fi Tartib as-Syarai’ (1/262).
Imam Ibnu ‘Abidin juga menjelaskan, disunahkan dua khutbah tersebut dengan kadar lama khutbahnya seperti kadar panjangnya membaca surat yang termasuk macam-macam surat Thiwal al-Mufasshal (surat Qaf sampai surat an-Naba’), dan tetap duduk di pertengahan khutbahnya dengan kadar waktu kira-kira membaca tiga ayat dalam Al-Quran. (Raddu al-Muhtar ‘ala ad-Dur al-Mukhtar, 2/148)
Menurut Imam as-Syaibani, apabila seorang imam dengan makmumnya pada (siang) hari Jumat mengerjakan shalat dua rakaat tanpa khutbah, maka shalat imam dan makmumnya tidak sah dan wajib untuk mengulangi shalat (Jumatnya), dan apabila imam tersebut tidak shalat Jumat dan (memilih) mengerjakan shalat Zuhur maka imam berbuat keliru karena telah meninggalkan (kewajiban) shalat Jumat. (Al-Mabsuth, Abu Abdillah Muhammad bin al-Hasan bin Farqad as-Syaibani, 1/346)
Mayoritas ulama berpendapat bahwa khutbah dalam shalat Jumat menggantikan kedudukan dua rakaat shalat yang ditinggalkan; setiap satu khutbah adalah satu rakaat. Apabila tertinggal satu di antara keduanya, maka tertinggal pula satu di antara kedua rakaatnya. (Radd al-Mukhtar ‘ala ad-Dar al-Mukhtar, Ibnu ‘Abidin, 1/544; Nihayatul Muhtaj, Musthafa al-Halabi, 2/299; Al-Mughni, Ibnu Qudamah, 2/304)
Lebih lanjut, salah seorang ulama mazhab Hanafi, imam as-Sarkhasi dalam kitab al-Mabsuth (2/24) menjelaskan bahwa berangkat dari hal yang demikian (menggantikan kedudukan dua rakaat shalat Zuhur) maka tidak boleh melaksanakan shalat Jumat sebelum waktunya tiba.
Mengingat begitu pentingnya persoalan ini bagi keabsahan shalat Jumat, maka sangat perlu bagi para khatib memperhatikan syarat dan rukun khutbah Jumat.
Demikian pula para pengurus atau takmir masjid, hendaknya mereka memilih para khatib yang benar-benar kompeten agar ibadah Jumat yang ditunaikan sesuai dengan ketentuan syariat.
Ikhtilaf Ulama dalam Kewajiban Memenuhi Rukun Khutbah dalam Shalat Jumat
Perlu menjadi catatan, mayoritas jumhur ulama berpendapat materi khutbah Jumat termasuk rukun khutbah. Oleh sebab itu, khutbah Jumat tidak akan sah jika tanpa isi khutbah. (Al-Wajiz, Al-Ghazali, 1/63; Al-Minhaj dan Raudhatu at-Thalibin, Imam an-Nawawi, 2/24; Mughni al-Muhtaj, As-Syirbini, 1/285; Syarh al-Khiraqi, Az-Zarkasyi, 2/178).
Namun ada sebagian ulama menganggapnya sebagai syarat. Di antaranya Imam Ibnu Qudamah (Al-Mughni, 2/225), Al-Mardawi (2/386).
Sebelum merinci apa saja rukun khutbah Jumat menurut pendapat para ulama, perlu kiranya memahami terlebih dahulu diskusi yang sangat menarik para ulama dalam hal: apakah di dalam khutbah Jumat terdapat rukun ataukah tidak.
Dalam turats fikih, ternyata para ulama berbeda pendapat dalam persoalan tersebut.
Berikut ini penjelasan singkatnya.
Pendapat Pertama: Tidak ada rukun dalam khutbah Jumat, sesuaikan dengan Urf.
Khutbah Jumat tidak mempunyai rukun, namun yang lebih tepat adalah khutbah dikembalikan kepada ukuran‘urf (sesuai kebiasaan setiap daerah).
Di antara ulama yang mengatakan adalah dari kalangan mazhab Hanafi seperti Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan as-Syaibani (Al-Mabsuth, as-Syaibani, 2/30; Bada’iu as-Shanai’ fi Tartib as-Syarai’, Al-Kasani, 1/262), kemudian Imam Malik (Bidayatu al-Mujtahid, 1/161; Al-Kafi, Ibn ‘Abdil Barr, 1/251).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga berpendapat sama.
Beliau menjelaskan, “Tidak cukup dikatakan sebagai khutbah jika hanya memperingatkan (manusia) tentang fitnah dunia dan kepastian ajal, melainkan disebut sebagai khutbah jika sesuai praktek kebiasaan atau tradisi setiap masyarakat (‘urf).
Ibnu Taimiyyah menukil perkataan Ibnu al-Muflih dan Ibnu Abu al-Ma’alli bahwa kalimat di dalam khutbah Jumat berbentuk nasihat dan nasihat tersebut tidak hanya hal fitnah dunia dan fitnah kematian. (Al-Ikhtiyarat al-Fiqhiyyah li Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah, Sami bin Muhammad, 1/225)
Imam as-Sa’di juga menjelaskan bahwa para ahli fikih di dalam memberikan syarat agar terpenuhinya empat syarat dalam setiap khutbah,
Pertama, terlebih dahulu dilihat apabila di dalam khutbah seseorang berbicara dan menyampaikan maksud dari khutbah;
Kedua, berupa nasihat yang melembutkan hati maka bisa dikatakan ia sedang berkhutbah.
Karena ketahuilah bahwa tahmid atau pujian bagi Allah, shalawat atas Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan membaca ayat Al-Quran adalah sebagai pelengkap khutbah. (Al-Islam Su’alun wa Jawaabun, Muhammad Shalih al-Munajjid, 5/1947, no. 15854; Khutbah al-Jumah wa Ahkamuha al-Fiqhiyyah, Abdul Aziz bin Muhammad bin ‘Abdillah al-Hajilan, 110)
Adapun landasan dalil pendapat pertama di antaranya,
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِي أُصَلِّي
“Shalatlah kalian seperti kalian melihat aku (Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam) melakukannya.” (HR. Al-Bukhari No. 605; HR. Muslim No. 674)
Ayat di atas menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan umatnya mengerjakan shalat seperti yang dikerjakan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam.
Termasuk dalam hal ini adalah saat beliau shallallahu ‘alaihi wasallam sedang berkhutbah pada shalat Jumat, dan tidak dibatasi satu atau dua kalimat tasbih. (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj, Imam an-Nawawi, 6/150)
Artikel Fikih: Posisi Mimbar dalam Masjid Sebelah Kanan atau Kiri?
Adapun landasan dalil lainnya adalah firman Allah ‘azza wajalla,
فَاسْعَوْا إلَى ذِكْرِ اللَّهِ
“Bersegeralah mengingat Allah.” (QS. Al-Jumu’ah: 9)
Dalam ayat ini as-Sarkhasi secara zahir menjelaskan bahwa yang dimaksud mengingat Allah ‘azza wajalla adalah Khutbah, dan karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah sekalipun shalat Jumat tanpa khutbah. (Al-Mabsuth, As-Sarkhasi, 2/24)
Imam as-Syaibani dari kalangan mazhab Hanafi menjelaskan bahwa apabila seorang imam dengan makmumnya pada (siang) hari Jumat mengerjakan shalat dua rakaat tanpa khutbah, maka shalat imam dan makmumnya tidak sah dan wajib untuk mengulangi shalat (Jumatnya). Apabila imam tersebut tidak shalat Jumat dan (memilih) mengerjakan shalat Zuhur maka imam berbuat salah karena telah meninggalkan (kewajiban) shalat Jumat. (Al-Mabsuth, as-Syaibani, 1/346)
Maksud perintah Allah ‘azza wajalla untuk segera mengingat-Nya dalam ayat di atas adalah khutbah.
Umar bin Khathab dan Aisyah radhiyallahu’anhuma menyampaikan, “Bahwa dipendekkannya shalat (dua rakaat Jumat) disebabkan adanya khutbah”.
Perkataan ini dinukil oleh imam al-Kasani dalam kitab Bada’iu as-Shanai’ fi Tartib as-Syarai’(1/262).
Ibnu ‘Abidin juga menjelaskan, disunahkan dua khutbah tersebut dengan kadar lama khutbahnya seperti kadar panjangnya membaca surat yang termasuk macam-macam surat Thiwal al-Mufasshal (surat Qaf sampai surat an-Naba’) dan tetap duduk di pertengahan khutbahnya dengan kadar waktu kira-kira membaca tiga ayat dalam Al-Quran. (Raddu al-Muhtar ‘ala ad-Dur al-Mukhtar, Ibnu ‘Abidin, 2/148)
Pendapat Kedua: Ada rukun dalam khutbah Jumat.
Terdapat rukun dalam khutbah Jumat, di antaranya: Membaca tahmid atau pujian bagi Allah, shalawat atas Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, membaca ayat Al-Quran, dan nasehat untuk bertakwa kepada Allah.
Ulama yang berpendapat demikian di antaranya ulama kalangan mazhab Syafi’i dan Hambali. (Al-Mughni, Ibnu Qudamah, 2/219; Al-Furu’ wa Tashhih al-Furu’, Ibnu Muflih, 3/164)
Landasan dalil pendapat ini adalah hadits dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu’anhuma bahwa beliau berkata,
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ النَّاسَ، فَيَحْمَدُ اللهَ، وَيُثْنِي عَلَيْهِ بِمَا هُوَ أَهْلُهُ، وَيَقُولُ: مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَخَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ
“Ketika Rasulullah berkhutbah, beliau memuji Allah dan membaca pujian-pujian atas-Nya. Beliau bersabda lagi, ‘Barang siapa yang Allah memberinya petunjuk maka tidak ada yang akan menyesatkannya, dan barang siapa yang Allah menyesatkannya tidak ada yang menunjukinya, dan sebaik-baik kalam adalah Kitabullah’.”
Hadits ini diceritakan oleh Jabir bin Abdillah, tetapi lafal hadits di atas bersanad dari jalur Ja’far bin Muhammad dari bapaknya. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim, an-Nasa’i, al-Baihaqi dan Ahmad. Dishahihkan oleh al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil fi Takhrij Ahadits Manar as-Sabil (3/73) nomor 607.
Pendapat Ketiga: Tidak ada rukun dalam khutbah Jumat, hanya nasihat.
Khutbah tidak mempunyai rukun, melainkan berisi nasihat untuk mengingat Allah yang diniatkan untuk berkhutbah walau hanya satu kalimat tasbih, tahlil, atau tahmid.
Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah dalam sebagian riwayatnya.
Imam Abu Hanifah menjelaskan bahwa apabila seorang khatib menyebutkan satu ayat dari Al-Quran, kemudian diikuti kalimat ringkas (misal alhamdulillah) yang mencakup makna luas dan mengajak untuk mengingat Allah, itu tetap dibolehkan.
Artinya, menurut pendapat ini durasi khutbah Jumat boleh dipersingkat dan tetap sah, asalkan di dalamnya khatib membacakan satu ayat dan diikuti ajakan kepada jamaah untuk mengingat Allah.
Umar bin Khathab radhiyallahu’anhu mengatakan “Panjangkanlah shalat dan pendekkanlah khutbah.” (As-Sarkhasi menukil perkataan Imam Abu Hanifah dalam al-Mabsuth, 2/31)
Pendapat ini juga mendasarkan argumentasinya pada firman Allah ‘azza wajalla surat al-Jumu’ah ayat sembilan.
Pemahaman yang dapat ditarik bahwa sesuatu yang diwajibkan dalam ayat ini secara umum adalah mengingat Allah ‘azza wajalla. Tidak ada dalil lain yang mengaitkan hal ini dengan khutbah secara terperinci. (Bada’iu as-Shanai’, 1/262)
Dari beberapa pemaparan pendapat para ulama di atas, tidak didapati pendapat yang secara gamblang menjelaskan inti rukun khutbah Jumat melainkan bahwa maksud khutbah Jumat adalah yang mencakup di dalamnya nasihat dan peringatan atau aplikasi khutbah yang dikembalikan kepada ukuran ‘urf (sesuai kebiasan setiap daerah).
Karena yang Allah perintahkan melalui khutbah dalam shalat Jumat, sesuai dalil di atas, adalah menyampaikan pesan kepada manusia untuk mengingat Allah ‘azza wajalla, dan secara syar’i tidak ada hal spesifik yang membatasinya.
Lebih jelasnya berikut ini akan dibahas seputar rukun khutbah menurut empat kalangan mazhab fikih.
Rukun Khutbah Jumat Menurut Fikih Empat Mazhab
Pembahasan ini terkait beberapa hal penting yang diperselisihkan di antara beberapa kalangan ulama tentang beberapa hal berikut ini apakah menjadi bagian dari rukun khutbah ataukah tidak. Di antaranya; Membaca tahmid atau pujian bagi Allah, shalawat atas Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, membaca ayat Al-Quran, dan nasehat untuk bertakwa kepada Allah.
Pertama, Rukun Khutbah Jumat menurut mazhab Hanafi dan Maliki
Mayoritas ulama kalangan mazhab Hanafi dan mazhab Maliki berpendapat khutbah Jumat tidak memiliki rukun.
Namun, apabila selama khutbah tersebut memuat nasehat yang menurut kebiasaan setiap masyarakat (‘urf) bisa dianggap khutbah, maka ia sudah sah disebut khutbah Jumat.
Imam Abu Hanifah dan Imam Malik juga menyatakan bahwa khutbah Jumat itu tidak memiliki rukun. Selama ia mengandung dzikir, baik sedikit atau banyak, maka ia bisa disebut khutbah Jumat. Meskipun hanya mengucapkan sedikit tasbih, tahlil, atau tahmid saja. (Bidayatu al-Mujtahid, 1/161; Al-Kafi, Ibn ‘Abdil Barr, 1/251)
Imam Abu Hanifah menjelaskan lebih rinci bahwa apabila seorang khatib menyebutkan satu ayat dari Al-Quran, kemudian diikuti kalimat ringkas (misal alhamdulillah) yang mencakup makna luas dan mengajak untuk mengingat Allah, itu tetap dibolehkan.
Artinya, menurut pendapat ini durasi khutbah Jumat boleh dipersingkat dan tetap sah, asalkan di dalamnya khatib membacakan satu ayat dan diikuti ajakan kepada jamaah untuk mengingat Allah. (Al-Mabsuth, As-Sarkhasi, 2/31)
Dalam riwayat pendapat yang lain disebutkan bahwa keempat rukun khutbah dalam shalat Jumat hukumnya sunnah.
Demikian juga mazhab Maliki yang mengatakan sunnah. Pendapat ini dikemukakan oleh Qadhi Abdul Wahab al-Baghdadi dalam kitab al-Isyraf ‘ala Nukati Masa’ili al-Khilaf (1/329) dan Al-Madawwanah (1/236)
Adapun landasan dalilnya adalah firman Allah ‘azza wajalla,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا نُوْدِيَ لِلصَّلٰوةِ مِنْ يَّوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا اِلٰى ذِكْرِ اللّٰهِ
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila telah diseru untuk melaksanakan salat pada hari Jumat, maka segeralah kamu mengingat Allah.” (QS. Al-Jumu’ah: 9)
Pemahaman yang dapat ditarik bahwa sesuatu yang diwajibkan dalam ayat ini secara umum adalah mengingat Allah ‘azza wajalla. Tidak ada dalil lain yang mengaitkan hal ini dengan khutbah secara terperinci. (Bada’i ash-Shanai’, 1/262)
Kedua, Rukun Khutbah Jumat menurut mazhab Syafi’i dan Hambali
Adapun mazhab Syafi’i dan mazhab Hambali berpendapat khutbah Jumat itu memiliki rukun-rukun.
Jika rukun-rukun tersebut dipenuhi, niscaya khutbah Jumat tersebut sah. Apabila rukun-rukun tersebut tidak dipenuhi, maka khutbah Jumat tersebut tidak sah.
Mayoritas kalangan ulama mazhab Syafi’i berpendapat bahwa rukun khutbah shalat Jumat ada lima,
Pertama, Membaca tahmid atau pujian bagi Allah.
Kedua, Membaca dua kalimat syahadat.
Ketiga, Membaca shalawat atas Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Keempat, Memberi nasehat untuk bertakwa kepada Allah ‘azza wajalla,
Kelima, Membaca ayat Al-Quran. Dan dalam riwayat lain mendoakan kebaikan bagi kaum muslimin seluruhnya.
Pendapat ini dikemukakan oleh beberapa ulama, di antaranya al-Mawardi dalam kitab Al-Hawi al-Kabir Syarh Mukhtashar al-Muzanni (2/442), As-Syasyi dalam kitab Hilyatu al-‘Ulama fi Ma’rifati Mazahib al-Fuqaha (2/235).
Imam An-Nawawi juga menyebutkan—beliau menyebutkan dengan 5 rukun—dalam kitab Al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab (4/519) dan kitab Raudhatu at-Thalibin (2/25).
Dalam kitab Mughni al-Muhtaj (1/549) Imam as-Syirbini juga menyebutkan ada lima rukun khutbah Jumat.
Imam as-Syafi’i dan mayoritas ulama mazhab beliau menyebutkan perihal memberikan nasihat (mau’izhah) dalam khutbah; nasehat itu tidak terbatas pada wasiat taqwa kepada Allah, melainkan bersifat nasehat secara umum (Al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, 4/519; Raudhatu at-Thalibin, 2/25).
Menukil kepada penjelasan Imam Ibnu Taimiyyah bahwa khutbah tidak sebatas memberi nasihat perihal fitnah dunia dan fitnah kematian saja. (Al-Ikhtiyarat al-Fiqhiyyah, 1/225)
Namun, sebagian kalangan ulama Syafi’i ada yang berpendapat bahwa lafal mau’izhah dalam khutbah Jumat ditentukan dengan kalimat ajakan bertakwa kepada Allah ‘azza wajalla. (Mughni al-Muhtaj, 1/285)
Adapun mayoritas ulama kalangan mazhab Hambali berpendapat bahwa rukun di dalam khutbah shalat Jumat ada empat. Antara lain,
Pertama, pujian bagi Allah.
Kedua, membaca shalawat atas Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Ketiga, wasiat takwa kepada Allah ‘azza wajalla, dan
Keempat, membaca ayat dari Al-Quran.
Lafal mau’izhah dalam khutbah shalat Jumat ditentukan dengan kalimat ajakan bertakwa kepada Allah ‘azza wajalla. (Al-Mughni, Ibnu Qudamah 2/219; Al-Furu’ wa Tashhih al-Furu’, Ibnu Muflih, 3/164; Al-Inshaf fi Ma’rifati ar-Rajih mina al-Khilaf, Al-Mardawi, 2/338; Ar-Raudhu al-Murabba’ ‘ala Syarh Zad al-Mustaqni’, Al-Buhuti, 153)
Artikel Fikih: Transaksi Jual Beli: Definisi, Hikmah, Rukun, Syarat
Syaikh Shalih al-‘Utsaimin menyebutkan bahwa memuji Allah dan membaca shalawat atas Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bukan bagian dari rukun di dalam khutbah Jumat, melainkan sebagai syarat sah atas kedua khutbah pada shalat Jumat.
Beliau berdalil dengan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
كُلُّ أَمْرٍ لَا يُبْدَأُ فِيْهِ بِحَمْدِ اللَّهِ فَهُوَ أَقْطَعُ
“Setiap perkara yang tidak dimulai dengan alhamdulillah maka terputus.”
Hadits ini diriwiyatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dari Abu Hurairah.
Ad-Daruquthni mengatakan hadits ini shahih mursal dari jalur az-Zuhri.
Hadits ini juga disebutkan dengan riwayat berbeda “كل أمر ذى بال لا يبدأ فيه بالحمد لله , فهو أقطع” oleh Imam an-Nawawi dalam kitab Fathul Bari (1/8). Dan diperjelas oleh Syaikh Al-Albani bahwa hadits ini bersanad dha’if.
Makna dari lafal “terputus” dalam hadits ini maksudnya adalah tidak baik dan kurang berkah. (As-Syarhu al-Mumti’ ‘ala Zad al-Mustaqni’, Muhammad bin Shalih bin Muhammad al-‘Utsaimin, 5/55)
Diskusi terkait fikih memang selalu menarik.
Pemaparan di atas menunjukkan betapa luasnya ilmu yang Allah subhanahu wata’ala bentangkan dan karuniakan kepada para ulama ahli fikih.
Semoga Allah memberkahi ilmu mereka dan mengampuni segala kesalahan mereka. Wallahu a’lam (Syarif Amrullah/dakwah.id)
Artikel selanjutnya: Syarat dan Rukun Pernikahan yang Harus Anda Ketahui